Wanita Karir: Solusi bukan Tanpa Masalah
Oleh: Nor
Istiqomah
Fenomena
wanita karir sangat merebak sejak isu gender naik ke permukaan, dan hingga kini
masih menimbulkan banyak persepsi. Seorang wanita baik yang sudah menikah
ataupun belum akan lebih bangga jika memiliki pendapatan sendiri, karena
menunjukkan pribadi yang mandiri. Manusia juga sebagai makhluk individu yang
berbeda satu sama lain, memiliki fisik yang berbeda, kondisi, situasi, usaha,
tujuan, bahkan dalam Islam disebutkan rizki manusia itu masing-masing dan sudah
diatur oleh Sang Pemberi Rizki, sehingga berbeda satu sama lain. Kecenderungan
ini membuat manusia sering berpikir hidup itu adalah masalah eksistensi. Sejauh
mana ia dapat menunjukkan prestasinya (terutama dalam dunia kerja), di situ ia
eksis.
Sebenarnya
Islam sudah sangat memuliakan wanita dengan tidak mewajibkannya bekerja
memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, banyak kalangan wanita beralasan desakan
ekonomi yang semakin berat, dan keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih
baik untuk memilih terjun dalam dunia karir. Pekerjaan memang menggiurkan
karena setiap pekerja berhak mendapatkan uang kompensasi atau disebut gaji yang
tidak sedikit, setidaknya mencukupi kehidupan pribadinya. Tidak salah jika ada
istilah Uang memang hamba yang baik tapi tuhan yang kejam. Ia bisa
diperlakukan untuk apa saja semau yang punya (sebagai hamba), sekaligus juga
menuntut perbuatan yang tak jarang sangat tidak bermoral untuk lebih banyak
mendapatkannya (sebagai tuhan). Ya, secara kasat mata demi uang tentunya setiap
manusia mau bekerja, karena tak dapat dipungkiri bahwa hidup ini butuh uang.
Meski dari lubuk hati yang terdalam tentu ada niat luhur mencari ridlo Allah. Insya
Allah.
Berkarir
bagi seorang wanita kini sudah sangat biasa dan lumrah, bahkan pandangan modern
menganggap sebagai suatu yang wajib. Karir dalam konteks pembicaraan ini
berarti bekerja di luar pekerjaan rumah. Sebenarnya istilah wanita karir bisa
ditujukan pada wanita yang sudah menikah maupun belum. Namun pembicaraan yang
sangat ramai dengan banyak pendapat kontroversial adalah pada wanita karir yang
sudah berumahtangga atau sebut saja istri karir. Dalam Al Quran surat Annisa 34
disebutkan:
Kaum laki-laki
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (kaum laki-laki) atas sebagian wanita, dan karena laki-laki telah menafkahkan
sebagian harta mereka.
Sangat jelas
bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istri. Dan tidak ada kewajiban istri
untuk sebaliknya, memberi nafkah kepada suami, atau turut menyokong perekonomian
keluarga. Namun kita tidak lupa dengan ayat Allah surat AnNahl 97:
Barang siapa
yang mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupun perempuan, baik dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya pahala yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.
Ayat tersebut menunjukkan
bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan supaya melakukan amal kebaikan
didunia. Jadi tanpa memandang jenis kelamin, beramal, atau diartikan luas
sebagai bekerja adalah anjuran bagi umat manusia, untuk mencari ridlo Allah.
Ayat ini ditegaskan dengan perintah Allah dalam surat Ar Ro’du ayat 11:
Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum tersebut merubahnya sendiri.
Jelas sudah
bahwa Allah sangat menganjurkan setiap insan berbuat sesuatu, lebih lagi,
bekerja keras untuk memperbaiki taraf hidupnya. Bahwa doa harus diimbangi
dengan usaha.
Namun
demikian kembali kepada konteks berkarir, secara sosial kultural Indonesia pada
perkembangannya masih mengikuti budaya timur, yaitu wanita cukup di dalam rumah
saja, sebagai bentuk menjaga pandangan, menjaga rumah, dalam arti menjaga harta
suami saat suami pergi; mengurusi pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak,
sudah sesuai dengan ayat Allah surat An Nur ayat 31:
Katakanlah
kepada wanita beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa
tampak darinya...ila akhirihi.
Ditambahkan
lagi dengan ayat 34 surat An Nisa:
Kaum laki-laki
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (kaum laki-laki) atas sebagian wanita, dan karena laki-laki telah menafkahkan
sebagian harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah
telah memelihara mereka... ila akhirihi.
Berkarir
tidak secara jelas dilarang atau diharuskan. Penulis menilai bahwa bekerja bagi
seorang istri diperbolehkan dalam situasi tertentu, demikian juga dapat menjadi
wajib dalam situasi tertentu pula, dan sangat mungkin menjadi tidak boleh atau
sangat tidak dianjurkan pada suatu waktu. Tujuan menjadi pertimbangan
penting sebelum istri memilih untuk berkarir. Tujuan mendapatkan penghasilan
tambahan yang sangat primer harus dipenuhi untuk menyokong perekonomian
keluarga mewajibkan istri mengambil pilihan bekerja di luar rumah. Namun, hal
ini semata membantu suami dengan tetap menjalankan kewajibannya mengasuh anak
dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Meskipun
keputusan bekerja merupakan salah satu usaha untuk mnyelesaikan persoalan
ekonomi keluarga, tapi menjadi wanita karir juga sangat nyata dampak
negatifnya. Karir wanita saat ini sangat mungkin memasuki segmen manapun
termasuk lapangan pekerjaan yang dulu banyak dikerjakan laki-laki. Tak jarang
ditemui montir wanita, satpam wanita, sopir bus juga wanita. Hal ini
menunjukkan bahwa wanita mulai menunjukkan taringnya, bahwa ia tak mau lagi dianggap
lemah. Semangat bekerja pada wanita erat kaitannya dengan gender. Sisi lain,
masuknya wanita dalam dunia kerja menyebabkan terjadinya kompetisi perebutan
lapangan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Secara signifikan, hal
ini juga yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran laki-laki. Sangat
ironis jika kemudian timbul budaya istri bekerja dari pagi sampai sore
sedangkan suami diam di rumah.
Dampak
lain jika istri bekerja adalah bisa jadi penghasilan istri melebihi penghasilan
suami. Ini sangat berbahaya, karena akan timbul sifat sok berkuasa pada
si istri. Demikian juga suami akan merasa rendah diri, dan akhirnya hubungan
keluarga tidak lagi harmonis. Dalam kacamata penulis, ini sering terjadi di
dunia artis, dan sudah menjadi rahasia umum dengan berakhir pada perceraian, naudzubillah
min dzalik.
Lantas
bagaimana sebaiknya wanita menyikapinya? Melihat perkembangan wanita karir saat
ini, menjadi penting untuk membuat catatan yang sebaiknya dipertimbangkan
sebelum seorang wanita memutuskan untuk bekerja:
1.
Meminta
izin kepada suami
2.
Pekerjaan
tidak menyita waktu hingga kewajiban istri terhadap suami dan kewajiban ibu
terhadap anak terabaikan
3.
Pekerjaan
tidak melampaui kodrat wanita (seperti montir, tukang batu, dll)
4.
Dapat
menjaga diri, moral dan beretika (sebagai wanita, istri, dan ibu)
Karena tak
dapat dipungkiri bahwa wanita juga diperlukan dunia pekerjaan, seperti profesi
bidan, dokter, pengasuh bayi, guru, pembantu rumah tangga, dll. Untuk itu
sebenarnya ruang gerak wanita sangat luas: dalam kerumahtanggaan, istri adalah
pengelolanya; dalam pendidikan anak, ibu adalah pengasuhnya; pun dalam
pekerjaan luar rumah, wanita sangat berpotensi untuk dapat berkiprah, dengan
tetap mengindahkan syariat dan memahami kodrat.
*pernah diikutkan dalam lomba artikel Wanita muslimah penyelenggara IMM UNS, tapi gagal :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan tinggalkan pesan.. bebas, sopan, dan tidak berbau SARA ya.. nuhun